Header Ads



Partai Seks Memboikot Bali

Jakarta - Sejumlah warga Australia menentang keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi duo bandar narkoba Andrew Chan dan 'Myuran Sukumaran. Salah satu caranya, dengan 'menghukum' Bali.

Partai Seks Australia jadi salah satu pemicu. Ketuanya Fiona Patten meminta warga Negeri Kanguru untuk bergabung dalam gerakan boikot Bali. Tujuannya, untuk 'menyadarkan Indonesia' bahwa ganjaran atas eksekusi warga Australia bisa berakibat pada perekonomian Nusantara selama beberapa dekade.

"Kami meminta seluruh warga Australia yang mungkin merencanakan liburan atau mengunjungi Bali, atau di manapun di seluruh Indonesia, untuk memilih destinasi liburan tropis yang lain," kata Patten, seperti dimuat situs Sydney Morning Herald, 10 Februari 2015.

Ia pun memulai kampanye di media sosial dengan hashtag atau tagar #BoycottBali.

 Meski terdengar seperti main-main, The Australian Sex Party atau Partai Seks Australia nyata adanya. Didirikan pada 2008 di Melbourne, partai politik ersebut dibuat sebagai respons keputusan pemerintah yang mewajibkan filter di internet.

Partai itu juga mengklaim sebagai respons politik atas kebutuhan seksual warga Australia, di tengah para politikus 'sok bermoral yang memasang wajah sopan'.

Tak hanya jadi 'panggung' bagi parpol yang diketuai petinggi Asosiasi Industri Hiburan Khusus Orang Dewasa Australia (Eros) itu, eksekusi Bali Nine juga bikin penyanyi sekaligus penulis lagu David Franciosa ambil tindakan.

Ia membatalkan dua jadwal pertunjukannya di Bali. "Bagaimana bisa aku mengunjungi negara yang segera membunuh warga negara Australia?," kata dia. "Tak hanya berlibur. Orang-orang juga harus mempertimbangkan kembali melakukan bisnis dengan negara itu (Indonesia)."

Pendapat seperti itu diamini Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menyuarakan hal senada.

"Saya pikir orang Australia akan menunjukkan ketidaksetujuan mereka, dengan membuat keputusan tentang ke mana mereka ingin berlibur," kata dia, 13 Februari 2015.
Sejauh ini, boikot baru sebatas imbauan. Atase Pers Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Laura Kemp mengatakan, sejauh ini, pemerintahan di Canberra belum mengeluarkan perubahan peringatan perjalanan terhadap warga Australia yang ingin bepergian ke Indonesia.

Sementara, seperti dikabarkan ABC News, pada laman Indonesia di situs Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia yang memuat soal peringatan bepergian ke sejumlah negara, berdasarkan  peringatan perjalanan terakhir yang diperbarui pada tanggal 5 Januari 2015, selain Sulawesi Tengah, Maluku, Papua dan Papua Barat, Pemerintah Australia hanya meminta warganya untuk berhati-hati jika pergi ke Indonesia.
Terhadap 4 provinsi itu, pemerintahan Tony Abbott meminta warganya untuk mempertimbangkan kembali perjalanan itu.

Larangan bepergian resmi dikeluarkan Pemerintah Australia terhadap 12 negara, termasuk di antaranya Irak, Suriah, Afghanistan, Yaman, dan sejumlah negara Afrika

 "Bodoh Kalau Tidak Datang ke Bali'

Maraknya seruan boikot tak mengurungkan niat Gareth untuk datang ke Bali. Sama seperti turis-turis lainnya yang masih datang ke Pulau Dewata untuk mandi matahari beralaskan tikar sewaan, sambil meneguk minuman ringan. Atau beraksi menunggang ombak di Pantai Kuta.

Pria 25 tahun itu mengaku terlanjur jatuh cinta pada Pulau Dewata. "Masyarakat di sini sangat ramah, membuat kami merasa dihargai. Bagi saya, Bali adalah rumah kedua," ucap dia.

Menurut Gareth, Bali punya pantai yang indah, letaknya juga tak jauh dari kampung halamannya, dan memiliki tradisi unik.

"Warga sembahyang dengan pakaian adatnya, itu adalah peristiwa yang sangat menyentuh. Mereka tidak terusik dengan keadaan di sekitar, fokus dalam doa," kata dia kepada Liputan6.com di Kuta, Bali, Minggu 1 Maret 2015.

Dan alasan lain yang tak kalah penting, murah meriah! "Bodoh kalau tidak datang ke Bali. Pulau ini sangat indah dengan penduduknya yang ramah," tegas Gareth.

 Turis lainnya Emma dan Bree juga senada dengan Gareth, ancaman dari pemerintah Australia tak membuat mereka ragu untuk kembali ke Bali.

"Mereka (Bali Nine) melanggar hukum Indonesia. Jika Anda datang ke Indonesia, Anda harus patuh dengan peraturannya.  Itu aturan mainnya. Jadi kami akan tetap kembali ke Bali," tutur Emma dan Bree.

Tapi Beth Ormsby, salah satu wisatawan, justru mengaku akan berpikir 2 kali untuk datang ke Pulau Dewata, jika eksekusi benar-benar dilakukan, meski tempatnya bukan di Bali, melainkan di Nusakambangan -- sebuah pulau terpencil yang tertelak di selatan Jawa, tepat di tepian Samudera Hindia. "Sangat mengerikan jika benar-benar terjadi," kata dia.

Menanggapi ancaman boikot Australia, Juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Armanatha Nasir mengaku tak gentar.

Menurut dia, pariwisata Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dengan keindahan dan lokasinya yang strategis. Jadi dia meyakini jumlah turis tak akan berkurang. "Kami tidak takut karena Indonesia memiliki keunggulan di bidang pariwisata. Jadi kami tak terlalu khawatir," tegas Armanatha Nasir saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta.
Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla menegaskan, pemerintah Indonesia tidak takut dengan ancaman Australia soal pemboikotan warganya untuk datang ke tanah air jika dua orang warganya, anggota sindikat narkoba Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, jadi dieksekusi mati.

JK mengatakan sebagai sebuah negara berdaulat, hukum yang sudah diputuskan di Indonesia tidak akan berhenti di tengah jalan. "Kalau segi ancaman tentu kita tegas saja bahwa ini hukum kita seperti itu," kata JK, usai membuka Munas PHRI 2015, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.

"Ya bisa saja ada dampak tetapi itu risiko dari prosedur negara yang berdaulat," imbuh JK.
Sedangkan Menteri Pariwisata Arief Yahya mengaku hubungan pariwisata tidak akan terlalu pengaruh dengan hubungan diplomasi kedua keluarga.

"Kalau pariwisata itu basisnya adalah people to people, bukan government to government. Jadi kalau orang tuanya berantem anaknya masih main bersama, harapannya seperti itu," kata Arief di Istana Bogor, Jawa Barat.

 'Boikot juga Amerika'

Soal ancaman boikot terhadap Bali demi membela 2 terpidana kasus narkoba  Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, justru membuat warga Australia dituding melakukan 'standar ganda'.

Andrew Mason kepada The Age mengatakan, mereka yang mengancam akan memboikot Bali juga harus melakukan hal serupa ke negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Termasuk Amerika Serikat.

"Manusia adalah manusia. Di manapun mereka berada, Utah, California, Mesir, ataun China," kata dia seperti dimuat situs http://www.3aw.com.au.

"Jika kalian berniat memboikot Bali, lakukan hal yang sama pada negara manapun yang memberlakukan hukuman mati. Entah itu Amerika atau negara lainnya."


Imbauan boikot Bali di media sosial pun memicu perang kata-kata antara sesama netizen dari Indonesia maupun Australia.

"As much as I hate drugs and what they do executing 2 people by firing squad is barbaric. I will boycott Bali and Indonesia #boycottbali,"  tulis pengguna Twitter @MrHumpheries.
Atau bisa diartikan, "Betapapun saya membenci narkoba, tetapi apa yang mereka lakukan dengan mengeksekusi dua orang dengan regu tembak adalah tindakan barbar. Saya akan boikot Bali dan Indonesia #boycottbali."
Pengguna internet Indonesia tak mau kalah dan membalas. "Dear Australians, if you think we prefer tourism than Drugs which killed our kids future? please #boycottbali and find the cheaper one :))," tulis @StoryOfGery -- yang mempersilakan warga Negeri Kanguru memboikot Bali dan mencari destinasi wisata yang lebih murah,Lip.6/t

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.