Header Ads



Bersih-bersih Gerbong Sambo, Buat Terang Kematian Brigadir J

JAKARTA, Sebanyak 25 anggota Polri diperiksa terkait dugaan tidak profesional dan menghambat penanganan kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan puluhan personel itu tengah dalam pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus (Irsus).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan puluhan personel itu tengah dalam pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus (Irsus)

"Di mana 25 personel ini kita periksa terkait dengan ketidakprofesionalan penanganan TKP dan juga beberapa hal yang kita anggap membuat proses olah TKP dan juga hambatan dalam hal penanganan TKP dan penyidikan," kata Listyo dalam konferensi pers, Kamis (4/8) malam.

Puluhan anggota Korps Bhayangkara yang diduga menghambat penyidikan antara lain tiga jenderal bintang satu alias Brigjen, lima Kombes, tiga AKBP, dua Kompol, tujuh perwira pertama, serta bintara dan tamtama sebanyak lima personel.

Dari tiga jenderal bintang satu yang diperiksa, dua diantaranya telah dimutasi.

Sebagian di antara mereka berasal dari Divisi Propam yang sempat dipimpin Sambo, lalu ada dari Polda Metro jaya, Bareskrim, dan Polres Metro Jakarta Selatan.

 

Pada hari yang sama Listyo mengeluarkan Surat Telegram Nomor 1628/VIII/KEP/20222 tertanggal 4 Agustus 2022.

Sejumlah perwira tinggi hingga perwira menengah terkena mutasi jadi Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri. Salah satunya Sambo, termasuk beberapa anak buahnya di Divisi Propam.

"Yang dimutasi sebagai Pamen Yanma Polri dalam status proses pemeriksaan oleh irsus timsus," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan meski terlambat karena harus menunggu tekanan publik dan atensi Presiden Joko Widodo, langkah Listyo perlu diapresiasi.

Namun, ia menilai tidak cukup hanya personel-personel di atas yang diperiksa. Menurutnya, Divisi Humas Mabes Polri perlu dievaluasi karena membuat kasus ini janggal dengan narasi-narasi inkonsisten yang dilempar ke publik.

"Artinya, Divisi Humas ini tidak menjalankan perannya secara profesional juga, karena tidak bisa mengelola informasi yang benar, dan tidak bisa menyampaikan informasi yang benar kepada publik. Akhirnya memunculkan kejanggalan karena mereka tidak konsisten," kata Bambang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (4/8) malam.

 

"Bahwa dia dapat masukan informasi dari lapangan, itu soal internal mereka. Seharusnya mereka juga harus bisa memastikan informasi dari bawah itu benar," ujarnya menambahkan.

Bambang menyebut momen ini harus dipakai Listyo untuk bersih-bersih dan berbenah, mulai dan Divisi Humas, Reskrim, hingga Propam.

Bambang mengingatkan profesionalisme setiap anggota Polri harusnya tegak lurus pada aturan hukum, bukan pada arahan atasan.

Selain itu, Bambang menyebut pimpinan Polri seharusnya menanamkan kepada setiap anggota agar problem personal tidak ditarik menjadi problem institusi.

"Jangan sampai hal-hal yang sifatnya personal dibawa ke institusi, dan institusi kemudian membela, ini kan jadi konyol. Akhirnya jadi ribet, yang dipertaruhkan wibawa institusi," kata Bambang.

Lebih lanjut, Bambang menyatakan Listyo harus membuka kasus itu seterang-terangnya, apalagi setelah peneratapan tersangka Bharada E dengan jeratan Pasal 338 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 56 KUHP.

"Ada Jo pasal 55 dan 56. Bukan pelaku tunggal dia. Dengan menjerat pasal itu polisi sudah yakin ada pelaku lain," kata Bambang.

 

Potensi Tersangka Lain

Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda mengatakan pasal 55 dan 56 KUHP yang dijerat kepada Bharada E mengharuskan ada tersangka lain dalam kasus itu.

"Pasal itu artinya orang itu tidak bekerja sendirian. Ada yang ikut serta, ada yang bantu. Tidak mungkin delik itu, tidak mungkin Yosua meninggal hanya peran satu orang kalau konstruksi hukum seperti itu," kata Chairul.

Chairul mengatakan pernyataan Listyo soal tidak profesional dan menghambat penyidikan memiliki konsekuensi yang berbeda.

Jika hanya terbukti tidak profesional, menurutnya anggota Polri dalam kasus itu hanya akan diproses terkait pelanggaran kode etik.

"Apakah kesalahan profesional, misal tidak teliti, terlalu cepat ambil kesimpulan...misalnya di awal sudah menyimpulkan adanya pembelaan diri. Itu bisa dianggap tidak profesional, karena belum semua data terkumpul. Kalau seperti itu konsekuensi hanya dari segi profesi," katanya.

 

Namun, kata Chairul, jika anggota Polri itu menghilangkan barang bukti sehingga menghambat penyidikan, bisa diproses pidana lantaran melakukan tindakan obstruction of justice.

"Soal menghilangkan barang bukti itu ada di pasal 221 KUHP. Misal CCTV dirusak, misalnya, nah itu lain lagi cerita, masuk kategori obstruction of justice," ucap Chairul.

Lebih lanjut, Chairul mengatakan Listyo maupun tim khusus bentukannya perlu memilah-milah peran dari 25 orang yang telah diperiksa.

Menurutnya, harus dibedakan siapa pejabat pengambil keputusan dan siapa anggota yang menjalankan perintah.

"Dari 25 orang yang diperiksa, itu kan mereka sistem komando ya, jadi mesti dipilah, mana yang pengambil keputusan, mana yang sebenarnya cuma menjalankan perintah. Jangan pukul rata 25 orang itu salah, enggak juga menurut saya," katanya. cnn/t


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.