Header Ads



Terbongkar, Ternyata Pdt.DR.Justin Sihombing, Pengusul Nama Universitas HKBP Nommensen, Ini Faktanya

LINTAS PUBLIK, Peristiwa kematian Ompu i Ephorus Pdt Em. DR Justin Sihombing, Ephorus HKBP ke-8 itu kembali dikenang dan dituliskan sejarahnya oleh Pdt.Bonar H Lumbantobing.

Pdt.Bonar H Lumbantobing menuliskan bagaimana kiprah pelayanan Pdt, Justin Sihombing selama hidupnya, dan bagaimana dirinya berkotbah hingga banyak orang (jemaat) yang mendengarnya terkesimah atas Firman Tuhan yang hidup dalam Alkitab .

Mengenang 41 tahun kepergian Pdt DR Justin Sihombing menorehkan sejarah yang panjang, bahkan diakhir hayatnya beliau tidak meninggalkan "harta" benda yang berarti, tapi kotbahnya selalu hidup hingga kini.

BACA JUGA  Ephorus HKBP Pdt. Justin Sihombing Pernah Menolak Mobil, Ini Pesan Istrinya di Umur 100 tahun



Bahkan dalam tulisan itu kita dapat mengetahui, bahwa Pdt.Justin Sihombing lah yang memberikan nama untuk Universitas HKBP Nommensen.

Inilah Cerita lengkap perjalanan hidup  Pdt, Justin Sihombing yang selama 60 tahun dalam hidupnya tetap melayani sebagai Pendeta, hafal 176 ayat dalam kitab Mazmur 119, dan sampai akhir hayatnya beliau tetap menulis, baik buku maupun renungan kotbah yang hidup dalam pelayanan sebagai pendeta sampai 3 jaman, Ini Tulisan lengkap Pdt.Bonar H Lumbantobing yang diunggah di facebook HKBP dalam Berita, Video dan Foto pada Jumat (17/7/2020) sekira pukul 10;54 Wib :

BACA JUGA  Berumur 97 Tahun, Ny.Pdt. DR. Justin Sihombing Ephorus HKBP Makin Sehat



"MENGENANG 41 TAHUN
Kepergian Ompu i Ephorus, Pdt DR Justin Sihombing
1979 - 17 Juli - 2020

Tepat seperti hari ini, 17 Juli 1979, 41 tahun yang lalu, Ompu i Ephorus Pdt Em. DR Justin Sihombing meninggal di Pematangsiantar. Dua hari Ompu I dibaringkan di Pematangsiantar, kemudian diberangkatkan ke Pearaja Tarutung. Ketika iring-iringan tiba di SIborong-borong, masyarakat setempat dengan warga jemaat mencegat jenazah, lalu mengadakan ibadah singkat di tengah jalan raya. Ratusan orang memenuhi persimpangan Jalan Raya Tarutung-Dolok Sanggul di Siborong-borong. Sesudah itu iring-iringan dilepas ke Tarutung.

“Ketika memasuki kota Tarutung, iring-iringan melambat. Warga jemaat keluar ke pinggir jalan raya, berdiri dengan sikap hormat. Iring-iringan terus berlanjut hingga ke Pearaja. Jenazah tiba di depan gereja HKBP Pearaja tepat pada pukul 18.00 WIB, bersamaan dengan dibunyikannya lonceng gereja setiap sore hari.

Tetapi kali ini, lonceng gereja dibunyikan lebih lama sekali gus menjadi pertanda bahwa jenazah Ompu I Ephorus telah tiba. Dengan perlahan, peti jenazah diturunkan dari mobil, masih di tengah suara lonceng yang bertalu-talu itu, dan dibawa masuk ke dalam gedung Gereja.

Lonceng berhenti ketika peti jenazah Ompu i sudah diletakkan di depan altar. Ruangan dalam gedung sudah dipersiapkan sedemikian rupa, sehingga para pelayat tetap dapat duduk di atas tikar sebagaimana kebiasaan penduduk setempat.

BACA JUGA  Nyonya Ephorus HKBP Pdt. DR. Justin Sihombing Telah Sehat Kembali


Bangku-bangku gereja telah dikeluarkan sebagian, dan tikar digelar sebagai gantinya. Namun, sebagian bangku tetap dibiarkan di bagian belakang dan samping ruangan. Maka para pelayat pun dapat memilih di mana mereka akan duduk sesuai dengan keinginan masing-masing.

Ompu i Ephorus Ds. G. H. M. Siahaan dan Sekertaris Jenderal Pdt. P. M. Sihombing duduk di samping keluarga mendiang. Sesudah semuanya diatur dengan baik dan pelayat telah mengambil tempat masing-masing, acara penyambutan jenazah pun dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Pendeta dari HKBP Distrik Silindung, Pdt. M. A Hutagalung.

Kemudian Pdt. F. Manalu (Pendeta HKBP Resort Martoba, Pematang Siantar – Almarhum Ompu i warga jemaat di HKBP Martoba), mewakili rombongan menyampaikan rangkaian kejadian dari Ompu I Ephorus Pdt. Em. Dr. J. Sihombing sakit hingga meninggal di rumah di Jalan Damar Laut Pematang Siantar.

“Meskipun almarhum dalam masa akhir hidupnya selalu sakit, tetapi nasihat-nasihat yang baik selalu diucapkan,” demikian dijelaskan oleh Pdt. F. Manalu. Sesudah pengantar singkat ini, Pdt F Manalu atas nama keluarga dan Majelis Jemaat HKBP Martoba, jenazah Ompu i diserahkan kepada Ompu i Ephorus HKBP, Sekjend HKBP, Praeses HKBP Distrik Silindung, Pendeta HKBP Resort Pearaja dan ke seluruh MAjelis Jemaat HKBP Pearaja.

BACA JUGA  "Orang Buta" Saja Mau Baca Alkitab, Ini Faktanya


Kata-kata penyambutan jenazah mewakili Pucuk Pimpinan disampaikan oleh Bapak Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt P M Sihombing, dengan mengucapkan syukur karena rombongan selamat selama dalam perjalanan dari Pematang Siantar tiba di Pearaja dan menutup dengan menyampaikan firman yang tertulis dalam Ibrani 13:7, “Ingatlah akan pemimpinmu.” Kata-kata penyambutan oleh Majelis jemaat HKBP Pearaja dan Kepala Kampung Pearaja dirangkap oleh seorang Penatua, dan ditutup dengan doa oleh Ompu i Ephorus Pdt G H M Siahaan. Kemudian Ompung, boru Saragih, dengan seluruh rombongan dari Pematang Siantar dipersilahkan untuk beristirahat sejenak dan makan malam.

Setelah berkemas sejenak di tempat penginapan yang sudah disiapkan di Pasanggrahan Kantor Pusat, Ompung, boru Saragih, dan seluruh anak-anak dan cucu kembali menuju gedung gereja HKBP Pearaja.

Ternyata gereja sudah dipenuhi oleh para pelayat. Setelah Ompung, boru Saragih, dan seluruh keluarga duduk dan disalami oleh para pelayat, berlangsunglah acara pemberian kata-kata penghiburan kepada keluarga yang berduka, sambil memperdengarkan berbagai nyanyian koor yang sangat merdu kedengaran, yang tidak berhenti hingga menjelang tengah malam.

Keesokan harinya, Jumat pagi 20 Juli, setelah selesai menikmati sarapan pagi yang dipersiapkan oleh Kantor Pusat HKBP, Ompung, boru Saragih, dengan anak-anak dan cucu kembali ke gedung gereja HKBP Pearaja.

BACA JUGA Gurunya di Jambret dan Terseret Keaspal, Alumni STM HKBP Bergerak


Ternyata, sama seperti malam sebelumnya, para pelayat sudah mendatangi gedung gereja. Kali ini rombongan dari yang jauh lebih banyak hadir. Majelis Jemaat HKBP Pearaja kembali tampil mengatur para pelayat yang akan menyampaikan kata-kata penghiburan dan nyanyian-nyanyian penghiburan baik oleh Paduan-paduan Suara maupun secara jemaat.

Rombongan yang hadir Kaum Ibu Kamis dari HKBP Adian Hoting, Korps Pemain Musik GKPI Kisaran, Departemen Kesehatan RI Kabupaten Tapanuli Utara, Utusan dari HKBP Distrik Jawa Kalimantan, Rombongan Sihombing dan Boru, HKBP Sibolga Kota, para mahasiswi Pendidikan Diakones yang dipimpin oleh Diakones Nuria Dumomdom Gultom, para mahasiswi Sekolah Bibelvrouw, kemudian Para Guru Huria dan Bibelvrouw.

Berbeda dengan masa kini, pada masa itu para pelayat secara kelompok atau pribadi meletakkan krans bunga tanda duka. Hanya pagi itu saja sudah tersusun di sekitar Ompu i sekitar 38 krans bunga.

Pada saat yang sama, tanpa diumumkan pada pelayat, dilaksanakan juga acara mengangkat tulang-tulang dari makam istri pertama Ompu i, untuk diletakkan di samping makam Ompu i karena seperti disebut di atas, permintaan Kantor Pusat HKBP telah disetujui pihak keluarga, agar Ompu i dimakamkan di halaman Kantor Pusat HKBP.

Semakin siang, gereja semakin dipenuhi para pelayat, bukan lagi dari kota yang berbeda, tetapi dari gereja-gereja lain. Tepat jam 13:00, acara pemberian kata-kata penghiburan dihentikan. Seluruh hadirin tanpa kecuali, diundang untuk turut makan bersama, yang di dalam tradisi Batak disebut “makan bersama untuk pemberitahuan” (parmanganon boaboa) sebelum pemakaman, sebab makan bersama dalam rangka adat pemakaman sudah dilaksanakan sebelumnya di Pematang Siantar, dan acara seperti itu tidak mungkin dilaksanakan dua kali.

Seluruh hadirin berkenan untuk turut makan bersama. Walau hadirin sedemikian banyak, tetapi makanan yang disediakan Kantor Pusat cukup untuk seluruh hadirin. Suasana makan sangat berbeda dengan pesta-pesta atau upacara pemakaman yang jumlah hadirin sedemikian banyak.

Suasana haru penuh rasa hormat, sangat menonjol, sehingga suasana makan sangat tenang. Dalam waktu singkat, perlengkapan makan dapat dikumpulkan kembali dengan tenang juga. Hanya ada suasana hening sejenak duduk di tempat masing-masing sambil memandang ke arah altar di mana Ompu i dibaringkan.

Beberapa menit kemudian, tepat pada jam 13:30, acara pemberangkatan dimulai. Pdt T P Simorangkir dari Biro Jemaat Kantor Pusat mengambil tempat di depan. Guru Pakpahan dari HKBP Pearaja segera memainkan organ untuk intro dari Buku Ende no 222. Suasana berubah menjadi sangat hening, walau gedung gereja penuh sesak. Kemudian jemaat bernyanyi dengan suara bulat: “Tu jolo ni Tuhanku/ Huboan diringkon/”

Bapak Sekjend HKBP, Pdt. P M Sihombing bangkit berdiri dan membacakan riwayat hidup singkat Ompu I, dengan suara yang dalam, dengan kecepatan ucapan yang sesuai, membuat sangat jelas terdengar.

Hadirin mendengar dengan sangat tenang mengikuti kalimat demi kalimat, dan jemaat seolah ditarik masuk ke dalam rangkaian peristiwa demi peristiwa dari jaman yang berbeda-beda yang hampir 60 tahun masa pelayanan Ompu i hingga masa pensiun, dan seolah menginginkan berita itu lebih panjang lagi diperdengarkan.

Namun Acara kata-kata penghiburan sudah siap-siap untuk dimulai. Pdt M A Hutagalung sebagai utusan dari Distrik Silindung menyambut semua hadirin sambil berkata: “Kami tidak mengirimkan undangan kepada hadirin semua, tetapi kepergian Ompu i Ephorus pesniunlah yang mengundang anda semua.

”Sekaligus juga ditegaskan kembali ungkapan yang pernah dikhotbahkan oleh Ompu i bagaimana dalam pemberitaan Firman, di mana pengkhotbah di dalam Roh menyampaikan Firman, maka akan terjadilah seperti ayat yang menyebut: “Lalu mata semua orang dalam perkumpulan itu tertuju kepada Yesus”.

Yesus saja yang dilihat, bukan manusia, demikian Pdt M A Hutagalung mengenang penjelasan Ompu i akan peran pengkhotbah. Selanjutnya Pendeta HKBP Resort Martoba Pematangsiantar, Pdt. F.Manalu menyampaikan terimakasih kepada Pucuk Pimpinan HKBP, Majelis Jemaat HKBP Pearaja, dan kepada seluruh keluarga/keturunan dari mendiang Ompu I, sebab semua acara gereja di Pearaja berjalan dengan baik.

“Almarhum Ompu i Ephorus-lah yang dulu mengusulkan nama Nommensen menjadi nama Universitas milik HKBP saat ini, yang kemudian disetujui oleh Sinode Agung HKBP, walau pun pada awalnya banyak nama yang diusulkan,” demikian antara lain disampaikan oleh Pdt. Eire Timbul Hutapea, sebagai utusan Dewan Pimpinan Yayasan Univ. HKBP Nommensen. Pdt. Hutapea juga menegaskan bahwa Pdt. Dr. J. Sihombing adalah pendeta yang lebih banyak menuliskan mengenai Kekristenan dan iman dari antara seluruh Pendeta HKBP yang ada pada saat ini. (Redaksi Majalah Immanuel menambahkan, karya tersebut di atas belum termasuk kerajinan beliau menulis di Majalah Immanuel, selama hidupnya, mungkin sekitar 13 buku ditambah 17 artikel.)

Pdt. J.N. Simaremare dari Kantor Pusat HKBP (seorang pendeta yang mempersiapkan diri untuk pensiun dalam waktu dekat) sebagai utusan seluruh pendeta menyampaikan “Kami semua Pendeta bersyukur karena Ephorus Pensiun Pdt. Dr. J. Sihombing akan dimakamkan di Pearaja.

”Selanjutnya Pdt Simaremare mengenang berita yang pernah didengarnya, bahwa pada masa muda Ompu i, saat menjalani pendidikan Sekolah Guru Zending di Seminari Sipoholon, Ompu i mampu menghafalkan Mazmur 119, sebanyak 176 ayat.

Ompu i juga menjalani pelayanannya dalam 3 jaman yang berbeda, yaitu pada jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan jaman kemerdekaan. “Ini adalah belas kasihan Allah,” ungkap Pdt. Simaremare, “sebab Allah mempersiapkan seorang pemimpin yang kokoh melewati 3 jaman, sehingga perahu Gereja terus berlayar”.

Ds. Dr. Andar Lumbantobing (Bishop Gereja Kristen Protestant Indonesia -GKPI-), sebagai utusan gereja-gereja tetangga, menyatakan bela sungkawanya atas kepergian Ompu i Pdt Em DR Justin Sihombing yang telah berangkat dari “Ladang anggur Tuhan.

”Bishop Lumbantobing juga mengingatkan bahwa bukan hanya HKBP yang terberkati melalui pelayanan Pdt. DR. J. Sihombing, melainkan juga Gereja-gereja di Indonesia, bahkan juga Gereja-gereja di Eropa yang sudah mengenal beliau ketika Ompu i berkunjung ke Gereja-gereja di Eropah.

“Seandainya ada penyematan bintang penghargaan kepada beliau, maka mungkin dadanya tidak akan muat menampung semua bintang penghargaan itu. Akan tetapi beliau sendiri tidak menginginkan hal itu, mahkota kehidupan adalah sukacita hatinya.

”Selanjutnya Bishop Lumbantobing menyatakan kepada seluruh anak-anak dan cucu Ompu i sebuah ungkapan Jerman “Eine Mutter kann zehn Kinder ernähren, aber zehn Kinder zusammen nicht eine Mutter ernähren.“ yang artinya: “Seorang ibu bisa memberi makan sepuluh anak-anak, tetapi anak-anak sepuluh orang secara bersama-sama tidak bisa memberi makan seorang ibu.

”Bishop Lumbantobing melalui ungkapan ini memaksudkan agar anak-anak dan seluruh keturunan Ompu i memperhatikan Ompung Boru Saragih sepeninggal Ompu i.

“Semua Gereja yang mengenal orang tua kita ini, turut bersedih, mengingat semua pelayanannya. Sekarang dia telah pergi, apa yang ditinggalkan untuk kita?”, kemudian Bishop Lumbantobing memberi jawaban sendiri, “itulah nasihat, khotbah dan semua pelayanan yang dilakukan saat hidupnya.” Setelah Bishop Lumbantobing, dibacakan juga kata-kata penghiburan secara tertulis dari Bupati KDH Tapanuli Utara.

Tidak terasa, hari sudah semakin sore. Kebaktian pelepasan jenazah belum pun dimulai. Namun seluruh hadirin tetap duduk dengan tenang, sebagian setengah terpana mendengar seluruh ungkapan penghiburan, yang jadinya mengangkat seluruh pelayanan Ompu i selama hampir 60 tahun.

Lalu kemudian Sekretaris Jenderal HKBP, Pdt P M Sihombing menyampaikan kata sambutan yang terakhir dari Pucuk Pimpinan HKBP yang menjelaskan, “Penghargaan dan penghormatan yang terakhir atas pelayanan almarhum, di tengah gereja kita, itulah alasan mengapa di Pearaja almarhum dimakamkan.

Terimakasih kepada seluruh keluarga yang telah ditinggalkan, yang telah menyetujui tempat pemakaman ini, sehingga seluruh acara dapat berjalan dengan baik di Pearaja.” Bapak Sekjend sekaligus menyampaikan ungkapan terimakasih kepada seluruh yang hadir, secara khusus kepada tetua kampung, untuk memohon maaf, walaupun acara makan bersama adalah berbentuk “parmanganon boa-boa”.

Hendaknya kita bersyukur atasnya, karena acara pemakaman secara adat telah dilaksanakan di Pematang Siantar, maka diberikan kepsempatan kepada keluarga untuk menyampaikan kata sambutan berkaitan dengan hal tersebut. Keluarga mengungkapkan rasa kebesaran hati mereka menerima permintaan Pucuk Pimpinan agar pemakaman dilaksanakan di Pearaja.

Sebagai penutup Bapak Sekretaris Jenderal Bapak Sekjend membacakan setiap telegram dan surat “turut berdukacita” yang masuk hari itu.

Sebagai penutup, keluarga Besar Ompu I, yang diwakili  P. Sihombing menyambut (mangampu) seluruh ucapan berkat dan penghiburan yang telah yang disampaikan orang banyak. Beliau juga menyampaikan kata-kata terakhir Ompu i kepada anak-anak dan cucunya sebelum meninggal, dan kepada orang-orang yang ditinggalkannya: “Berdamailah dengan Allah, berdamailah dengan sesamamu, berdamailah dengan dirimu sendiri, hendaklah engkau dipenuhi damai“ (Mardame ma hamu dohot Debata, mardame ma hamu dohot donganmuna, mardame ma hamu dohot dirimuna, gok dame ma hamu.”).

Tanpa ada selang, organ dibunyikan dengan sangat indah kedengaran. Suara-suara yang berbisik-bisik pada sesamanya terhenti, suasana di Gereja kembali semakin hening sejenak, lalu Ompu i Ephorus Pdt G H M Siahaan melangkah ke altar dan menghadap jemaat.

Di kiri kanan beliau duduk sekitar 90 orang Pendeta, 85 orang di antaranya mengenakan jubah Pendeta. Pendeta-pendeta dari gereja tetangga, seperti GKPI, GKPS, HKI, GPKB, GKLI dan HKBPA, turut hadir, demikian juga dua orang pendeta dari Luar Negeri yang sedang mengajar di STT HKBP Pematangsiantar.

Setelah intro nyanyian dimainkan, jemaat pun bernyanyi dengan suara penuh dan anggun. Ephorus kemudian berdoa, lalu membacakan Yeheskiel 3: 1-3:

Firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah apa yang engkau lihat di sini; makanlah gulungan kitab ini dan pergilah, berbicaralah kepada kaum Israel." Maka kubukalah mulutku dan diberikan-Nya gulungan kitab itu kumakan. Lalu firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu." Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku".

Pada permulaan khotbah Ompu i Ephorus memberitakan dengan sangat terperinci pelayanan Ompu i Pdt Em. DR Justin Sihombing, mulai dari masa sebagai Guru Zending sampai pensiun dari ke-pendeta-an. Beliau terpilih menjadi Ephorus setelah 30 tahun melayani di jemaat.

Ompu i Ephorus Pdt G H M Siahaan membenarkan: “Saat ini sangat sulit ditemukan dalam diri pendeta, yang mampu bertugas secara kedinasan hingga selama 60 tahun, dan meskipun sudah pensiun dari mahaguru pada tahun 1972, tetapi pelayanan kependetaan tidaklah berhenti.

Seseorang pernah bertanya pada almarhum: ”Mengapa Ompu i bisa terus menulis?” Lalu Ompu i menjawab, “Paling tidak saya berguna dalam kesempatan hidup yang panjang yang diberikan Tuhan.

”Ini adalah keajaiban, beliau masih tetap aktif berkarya sampai umur 83 tahun. Ephorus Siahaan menyampaikan lagi beberapa hal berkenaan dengan pelayanan almarhum: “Beliau hanya melakukan pelayanan sesuai tahbisan kependetaan, tidak mengerjakan hal lain untuk menambah pendapatan karena keperluan hidup.

Nasihat beliau sungguh sangat berguna dalam kehidupan kita. Kita merasakan nasihat yang paling besar dengan sangat jelas di dalam khotbah-khotbah beliau. Ini adalah pemberian bahwa beliau mampu menggambarkan khotbah dengan jelas dan mudah ditangkap oleh yang mendengar.”

Kemudian Ompui Ephorus mengutip satu perumpamaan yang digambarkan oleh Pdt. Dr. J. Sihombing dalam satu persekutuan Evangelisasi:

“Tetapi manusia yang diciptakan itu tidaklah sesuai, bila mulutnya lebih besar dari tubuhnya. Akan tetapi ada dari antara yang diciptakan itu lebih besar mulutnya dari tubuhnya, yaitu kodok. Mulutnya besar, dan suaranya pun tidak sebanding dengan tubuhnya." Demikianlah banyak hal yang dapat disentuh oleh khotbah beliau.”

Selanjutnya, didasarkan pada Yehezkiel 3: 1-3, Ephorus menjelaskan: “Isi gulungan kitab-lah yang dikatakan dimakan oleh nabi, yaitu Firman Allah, agar dihidupi, disampaikan dan menjadi kesaksian melalui tingkah laku dan hidupnya sendiri. Yehezkiel bersedia memakannya, dan rasanya manis seperti madu lebah.

Seandainya dimuntahkan, maka tidak akan pernah terjadi pemberitaan Firman itu. Demikian juga dengan Firman Allah, walaupun tidak sesuai dengan hati, jika kita renungkan lebih dalam, maka akan sangat manis seperti madu lebah. Dan setelah kita makan, maka akan sangat sedap juga untuk diberitakan.

”Melalui penjelasan tersebut, Ephorus memberitahukan: “Hal itulah yang dihidupi oleh almarhum dalam hidupnya, maka selalu sedap pemberitaannya. Manis khotbahnya untuk didengar, seperti madu lebah. Dan kapanpun beliau berbicara, selalu penuh dengan kegembiraan hati.”

Ompu i Ephorus Ds G H M Siahaan menyampaikan kepada keluarga dan keturunan yang ditinggalkan Ephorus Pensiun:

“Tidak ada harta yang kalian harapkan. Nasihatlah yang ditinggalkan, dan kita memang terberkati karenanya. Almarhum berangkat, tetapi khotbahnya ditinggalkan, dan melaluinya kita terus mengecap manisnya Firman Allah” .

Terakhir, Ompui Ephorus HKBP menyampaikan: “Bersyukurlah kepada Allah, Yang telah memilih beliau untuk menjadi Pendeta pada waktu yang lalu, karena melalui pelayanannya, banyak berkat yang diterima oleh gereja kita. Maka di dalam hati yang damai, marilah kita relakan almarhum kepada Allah”.

Pada saat penutupan peti jenazah, ke 85 para Pendeta yang mengenakan jubah, berkeliling di sekitar peti jenazah untuk menumpangkan tangan, mengiringi berkat yang diucapkan oleh Ephorus Pdt. G. H. M. Siahaan “Tuhan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya”.

Lalu jemaat menyanyikan “Loas au, asa laho, tu Jesusku” (Relakan aku pergi menuju Yesusku). Lonceng gereja dibunyikan dan sekitar delapan orang Pendeta yang lebih muda maju ke depan dan memikul peti Ompu i.

Jemaat melanjutkan nyanyian sambil tetap tegak berdiri ditempat dengan wajah sendu namun berpengharapan. Nyanyian itu memang sudah sering dinyanyikan, tetapi selalu terasa baru di saat dinyanyikan dalam perjalanan menuju pemakaman.

Para Pendeta berjalan lambat dalam memikul, diiringi Pendeta yang berjubah yang lain, dan jemaat melanjutkan nyanyian itu: “Ai malungun do rohangku mandapothon Debatangku. Asa dilambungNa au, asa di lambungNa au” (Sebab hatiku rindu, untuk berjumpa Allahku, supaya aku di dekatnya. Supaya aku di dekatNya).

Nyanyian ini secara melodi sangat indah, dimulai dengan nada yang rendah, lalu berangsur nada yang dinyanyikan semakin tinggi dan di bagian penutup lagu, nada yang dinyanyikan mencapai puncak ketinggiannya, terutama ketika sampai pada kata-kata “Asa dilambungNa au, asa di lambungNa au” (Supaya aku di dekatNya! Supaya aku di dekatNya!).

Akhir dari ayat kedua pun dinyanyikan penuh semangat oleh jemaat, kembali dengan nada tinggi tadi “O andigan ro tingkiku, asa borhat ma tondingku lao marnida bohiMi, lao marnida bohiMi” (Kapankah waktuku tiba supaya jiwaku berangkat untuk melihat WajahMu! Untuk melihat WajahMu!) Nyanyian itu berakhir tepat ketika jenazah tiba di depan pintu gereja, dan pengangkat peti berganti dari para pendeta kepada keluarga.

Grup musik tiup sudah menanti di halaman gereja dan berjalan di depan sambil memainkan nyanyian lain, yang benar-benar bernada gembira “Holong do roha ni Debatangku, holong rohaNa tongtong di au. Ai dipatupa do haluaonhu marhite Jesus, AnakNa i” (Allah mengasihiku! KasihNya tetap padaKu! Sebab Dia memberikan keselamatan bagiku, melalui Yesus AnakNya).

Arak-arakan duka, di mana peti jenazah sudah diangkat tinggi dan iring-iringan berjalan lambat, tetapi nyanyiannya yang mengiringi begitu ceria dan dilagukan dengan nada cepat. Arak-arakan duka itu justru terlihat sebagai arak-arakan sukacita, karena kasih Allah yang memberi keselamatan pada manusia. Kasih itu tidak dapat dilenyapkan oleh maut. Sebaliknya, maut justru sudah dikalahkan oleh kasih Allah yang kekal. Maka, arak-arakan yang menurut dunia penuh dengan dukacita, karena dunia menganggap bahwa maut telah mengalahkan kehidupan, kini berjalan menyaksikan bahwa peristiwa duka ini pun menjadi pertanda akan kasih Allah yang tetap.

Barisan menuju makam didahului oleh para peniup terompet dan diikuti oleh Ephorus dan Sekertaris Jenderal HKBP, disusul dengan para pendeta, lalu Ompung, boru Saragih yang diapit oleh Ompung, boru Simanjuntak (isteri Ephorus Ds. G. H. M Siahaan) dan Inang boru Nababan (isteri Sekretaris Jenderal), lalu menyusul keluarga lainnya dan warga jemaat.

Semua arak-arakan itu menjadi kesaksian akan kasih Allah. Maut sudah kalah. Kedua nyanyian yang diperdengarkan itu sejajar dengan khotbah-khotbah Ompu i tentang kematian dan akhir zaman. Khotbah itu sekarang nyata dalam perarakan menuju makam.

Jarak dari Gereja ke pemakaman sebenarnya hanya sekitar seratus lima puluh meter, sehingga ketika kepala barisan sudah tiba di pemakaman, para pelayat belum selesai keluar dari Gereja. Kembali Ephorus HKBP Ds. G. H. M. Siahaan melanjutkan untuk memimpin kebaktian menurunkan jenazah dan para hadirin memenuhi seluruh lahan di antara halaman rumah Ephorus dan Pesanggrahan HKBP.

Sebagian halaman itu tidak bisa diinjak karena berlumpur, maka dibiarkan kosong, sehingga sebagian pelayat memenuhi jalanan menuju pemakaman. Lalu perlahan peti jenazah diturunkan. Suasana terlihat sedikit repot.

Tetapi tidak lama, beberapa menit kemudian suasana kembali hening. Hari sudah semakin sore, dan dinginnya Tarutung sudah mulai terasa, menyatu dengan keheningan itu, mendampingi peti jenazah yang sudah terletak jauh di bawah permukaan tanah.

Sekilas seolah-olah mengerikan. Namun jemaat mengungkapkan sisi lain dari ngerinya maut dengan nyanyian indah yang dinyanyikan dengan lembut dengan tempo yang lambat “Sonang ma modom ho na martua i, na maradian sian ulaon i” (Beristirahatlah dengan tenang, wahai engkau yang berbahagia, yang beristirahat dari pekerjaanmu).

Benarlah: Ompu I adalah yang berbahagia. Kemudian jemaat hening, mendengar nama Ompu i diserukan, “Wahai Justin! Engkau berasal dari tanah, dan kembali ke tanah”.

Itukah akhir dari perjalanan kehidupan hamba-Nya yang telah mengabdi puluhan tahun sebagai pembawa Kabar Baik? Namun kalimat itu tidak berhenti di sana. Kalimat berlanjut lagi. Dengan suara tenang dan anggun, Ephorus Ds G H M Siahaan menyerukan, “Tetapi Tuhan Allah yang mencipta engkau, dan Tuhan Yesus Kristus yang telah menyelamatkan engkau dari dosa, dan Roh Kudus yang telah memanggil engkau ke dalam kehidupan yang kekal, akan memelihara debu jenazahmu hingga akhir zaman!” Itulah seruan bagi hamba-Nya, yang telah memenangkan kehidupan ini. Itulah seruan kemenangan.

Lalu Ephorus Ds. G. H. M. Siahaan melanjutkan seruannya lagi dengan suara yang lebih tegas, “Tetapi aku tahu bahwa Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah” (Ayub 19:25-26).

Seruan ini segera disambut dengan nyanyian oleh jemaat. Nyanyian pengharapan yang penuh dengan semangat. Nyanyian indah yang nada rendah pada awalnya kemudian makin meninggi diiringi oleh musik tiup: “Hehe do muse pamatanghon sian tanoman on. Suang mangolu bahenon ni Tuhanku. Haleluya! Haleluya!“ (Kelak tubuhku akan bangkit, dari kubur ini, kembali dihidupkan oleh Tuhanku! Haleluya! Haleluya!).

Ompung, boru Saragih, kelihatan sangat tenang dan pasrah menghadapi semua peristiwa ini, sejak meninggalnya Ompu i di Siantar hingga mengantarnya ke pemakaman di Pearaja. Walau kesedihan tergambar jelas, tetapi pengharapan terlihat lebih menonjol di wajahnya. Seluruh khotbah Ompu i tentang akhir zaman, tentang hidup sesudah mati, seolah-olah terdengar kembali dalam peristiwa singkat selama empat hari ini. Maka sesudah penguburan, keluarga segera kembali ke Pematangsiantar.

Kuburan sebelumnya dihias dengan bunga-bunga yang tersedia, sehingga terlihat tidak menggambarkan kematian yang seram, tetapi suasana yang menunjuk kepada kemenangan kebangkitan."

(Narrasi ditulis oleh Bonar H Lumbantobing dalam Buku “Hidup Doa”-Riwayat Hidup Bvr. Lamian Boru Saragih. Narrasi ini diperoleh melalui saksi mata dan terutama liputan Pdt Singotan Situngkir dalam “Surat Parsaoran Immanuel”.)

Membaca prosesi pemakaman Pdt. Justin Sihombing tokoh HKBP yang duduk sebagai Ephorus pada tahun 1942 sampai 1962 atau 20 tahun lamanya, membuat Gerda Sihombing salah satu Putri Pdt. Justin Sihombing sedih dan terharu, karena pada saay bapaknya itu meninggal dirinya masih SMA kelas 3.

"Trima kasih banyak amang utk postingan nya ini.aku sedih dan menangis membaca nya.waku itu aku msh kls3 SMA.dan yg sangat membuat aku terharu klu ga salah waktu itu sedang rapat pendeta jadi hampir beratus pendeta dgn baju toga mengantar bapak ke peristrahatan nya.terlalu banyak yg bisa ku teladani dari bapak ku ini.dan banyak warisan rohani yg di tinggal kan.tp sangat berkesan ke rendahan hati nya.sampai saat ini aku belum bisa melaksanakan sepenuh nya apa yg di wariskan utk ku.tp aku sangat bersyukur kpd Tuhan utk aku menjadi Boru Siampudan na.Terpujilah TUHAN. Sekali lg terima kasih amang pendeta.Tuhan memberkati pelayanan keluarga dan hidup amang,"balas Gerda Sihombing membalas tulisan Pdt. Bonar H. Lumbantobing.

Masih ditulisan Pdt. Bonar H. Lumbantobing, Pdt,Justinos Ray Nainggolan cucu dari Pendeta Justin Sihombing juga membalas tulisan itu mengatakan, Pdt.Justin Sihombing adalah Teladan.

"Mauliate Godang Amang Pdt. Bonar H. Lumbantobing 
Teladan Rohani Yang Belum Tentu Bisa Dilakukan Sejumlah Pelayan Tuhan Masa Kini."tulisnya.

Seperti diketahui untuk menghormati jasa alm. Pdt.Justin Sihombing, kota Pematangsiantar memberikan penghargaan menjadi nama salah satu ruas jalan di kota Pematangsiantar, dengan nama jalan Pdt.Justin Sihombing di daerah BDB ruas jalan dari simpang lampu Merah jalan Ahmad Yani menuju simpang Sambo (lampu merah) jalan Sangnaualuh Damanik atau jalan Asahan. Pdt. Justin Sihombing juga adalah salah satu tokoh gereja yang melakukan pergerakan kemerdekaan, dimana beliau dari gereja ke gereja (jemaat) mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia pada masa itu, hanya saja tokoh pergerakan Kemerdekaan RI ini belum terpublikasi dengan baik.*

BACA JUGA  Lumpuh Layu, Roy Manalu Mau Jadi You Tuber, Suara Serulingnya Bikin Terharu




Editor    : tagor sitohang

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.