Header Ads



Setorkan Sampah untuk Nikmati Sekolah

LINTAS PUBLIK,  Di permukiman padat Payo Lebar, Kota Jambi, anak-anak dapat bersekolah gratis dari sampah. Buangan rumah tangga tersebut menggantikan uang sumbangan pendidikan sekaligus dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan dan alat peraga dalam kelas. Kini, tak ada lagi halangan untuk memajukan pendidikan.

Dua bungkus plastik memenuhi jemari Azkah (5) yang berlari kecil menuju sekolahnya di TK dan PAUD Al-Kausar di Jalan Syamsu Bahrun, Kelurahan Payo Lebar, Kecamatan Jelutung, Jambi, akhir September lalu. Bungkusan di tangan kanannya penuh dengan kaleng susu dan minuman bekas. Bungkusan lain berisi botol dan gelas plastik.



Sebelum masuk kelas, gadis cilik itu singgah ke samping sekolah. Satu per satu bungkusan diletakkan di atas timbangan. Hasil timbangan langsung dicatatkan pada sebuah buku. Itulah cicilan pembayaran SPP Azkah di bulan Oktober.

Setiap siswa dikenai iuran SPP Rp 40.000 per bulan. Namun, orangtua tidak perlu membayarnya dengan uang, cukup dengan membawa sampah ekonomis dari rumah masing-masing. Bisa berupa botol dan gelas minuman bekas, kaleng bekas, kardus bekas, hingga pecahan kaleng dan besi yang tak lagi terpakai. Dengan benda-benda usang itu, mereka membiayai sepenuhnya pendidikan anak-anak.

"Tidak perlu pusing lagi memikirkan biaya pendidikan. Membayarnya ternyata sangat mudah," ujar Ririn, ibu Azkah.

Pertama kali mengetahui ada sekolah model itu Ririn sempat sangsi. Pihak sekolah menerapkan pendaftaran masuk dan pembayaran SPP bukan dengan uang, melainkan dengan sampah. "Apa betul ini sekolah serius. Kok bayarnya pakai sampah," ujarnya.

Setelah dicoba, ternyata metode pendidikan yang diberikan guru di kelas tidak ada yang berbeda. Azkah yang masih duduk di taman kanak-kanak mendapatkan pendidikan dini sebagaimana di TK pada umumnya. Malahan, anak-anak diajari lebih kreatif melihat lingkungan sekitarnya.

Sampah tak dianggap sebagai barang yang dibuang begitu saja. Imelda Simanjuntak, kepala sekolah, kerap mengajari siswanya mengolah bekas gelas plastik, misalnya, menjadi topi, mainan sederhana, hingga alat peraga. Sebagian besar alat peraga yang digunakan dalam kelas, seperti kartu huruf dan angka dan pajangan bergambar di dinding, merupakan hasil pemanfaatan sampah yang mereka bawa dari rumah masing-masing.

Cicil setiap waktu

Pembayaran SPP bulanan dapat dicicil setiap waktu. Ririn pun jadi rajin mengumpulkan barang-barang yang tak terpakai lagi. Seminggu sekali sampah dibawa ke sekolah. Yang paling mahal nilainya adalah kaleng aluminium bekas minuman, Rp 10.000 per kilogram. Sementara gelas plastik dihargai Rp 2.000 per kg, botol kaca Rp 200, koran bekas dan kardus Rp 2.000 per kg,

Ide menjadikan sampah sebagai alat bayar pendidikan di Jambi digagas Adi Putra (37), penyiar muda di Radio Republik Indonesia (RRI) Jambi. Dia menyulap rumahnya menjadi TK dan PAUD untuk membantu pendidikan bagi anak-anak kecil di sekitarnya. Sebagian besar mereka berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi lemah.

Idenya semula dicemooh banyak orang. Bagaimana mungkin sampah bisa membiayai pendidikan. Upaya itu rupanya berjalan pesat. Orangtua berlomba menyisihkan sampah di rumah. Itu didasari besarnya kebutuhan pendidikan gratis bagi anak-anak. Jika tidak cukup mampu mengumpulkan sampah sesuai nilai SPP yang dipatok, Adi menutupinya dengan bantuan donasi sampah dari kalangan usaha. Ia melibatkan donatur sampah yang berasal dari restoran, kantor pemerintahan, toko buku, dan usaha media. "Donasinya bukan berupa uang, melainkan sampah," katanya.

Restoran Pondok Sepur dan Juragan Sate, misalnya, rutin menyisihkan sampah botol minuman plastik dan kaleng. Sepekan sekali Adi menjemputnya. Sementara Toko Buku Gramedia, Tribun Jambi, Bank Indonesia Jambi, RRI, Telkomsel, PLN, rumah dinas Wali Kota Jambi, dan sejumlah kantor pemerintah daerah di Jambi rutin mendonasikan koran, kertas, dan kardus bekas. Dari situ, hasilnya cukup untuk penyelenggaraan kegiatan operasional belajar mengajar, termasuk membayar gaji empat guru dan kepala sekolah.

Tidak hanya mengumpulkan sampah, anak-anak juga mendapatkan edukasi lebih pemanfaatannya. Para guru bereksperimen dan melatih siswa di kelas membuat kerajinan yang memanfaatkan barang bekas. Pelatihan serupa juga digelar bagi orangtua siswa. Ada pula pelatihan keliling pengolahan sampah dari kampung ke kampung. Sebagian hasil karya ditampung dalam galeri seni sederhana di kawasan Telanaipura.

Selain di TK dan PAUD Al-Kausar, sekolah bank sampah juga dikembangkan di Sekolah Dayung Bank Sampah di kawasan Sipin dan Sekolah Bank Sampah Perempuan di Palmerah, Kota Jambi.

Tidak hanya di Jambi, gerakan mengumpulkan sampah sebagai alat bayar pendidikan dikembangkan pula di sekolah satu atap SMP dan SMA Arradal Haq. Sekolah di pelosok Pematang Lumut, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, ini menerapkan cicilan SPP dari sampah. Pendampingan awal gerakan ini dimulai Adi bekerja sama dengan Petrochina Jabung Ltd.

Fasilitator setempat, Tika Puspitasari (25), menceritakan, lokasi sekolah yang persis di seberang Pasar Pematang Lumut memudahkan siswa untuk mengangsur SPP. Jika tak cukup banyak terkumpul dari rumah masing-masing, siswa kerap mengumpulkan sampah di sekitar pasar. Nilai sampah yang terkumpul kerap melampaui biaya SPP yang ditetapkan. Namun, yang menjadi tantangan saat ini, sampah di sana belum dikelola jadi barang kerajinan.

Keterbatasan tempat penampungan sampah juga jadi tantangan. Adi berharap mendapatkan tempat yang lebih luas yang bisa dimanfaatkan tidak hanya sebagai bengkel produksi barang bekas untuk kerajinan. Ia bermimpi menciptakan pasar wisata yang memamerkan berbagai jenis kerajinan dari sampah.

Tidak hanya urusan pendidikan teratasi, kewirausahaan juga dapat tumbuh dari situ. Karena itu, jangan lagi memandang sampah dengan sebelah mata.


Editor   : tagor
Sumber : kompas

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.