Dibreidel, AJI: Majalah Lentera Bisa Gugat Balik Kampus UKSW
LINTAS PUBLIK - JAKARTA, Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Iman D. Nugroho, mengusulkan majalah Lentera mengungat balik kampus Universitas Kristen Satya Wacana yang telah melakukan pembreidelan terhadap majalah tersebut. Menurut Iman, pembredelan majalah Lentera telah melanggar Undang-Undang Pers dan Kebebasan Berpendapat.
“Kalau memang tak setuju dengan Undang-Undangnya, bisa usulkan revisi. Namun, saat ini ya harus jalani yang ada," kata Iman dalam diskusi di Plaza Festival, Minggu, 25 Oktober 2015.
Pada awal Oktober 2015, Lembaga Pers Mahasiswa Lentera Universitas Kristen Satya Wacana menerbitkan majalah dengan mengangkat tema utama mengenai Gerakan 30 September 1965 dengan judul Salatiga Kota Merah. Majalah edisi ini lantas didistribusikan dengan dijual di dalam lingkungan kampus dan ke masyarakat.
Namun, pada Minggu, 18 Oktober 2015, Kepolisian Resor Salatiga memanggil awak redaksi LPM Lentera. Polisi meminta agar majalah Lentera edisi 3/2015 yang sudah telanjur diedarkan ke pelanggan, ditarik kembali lalu diserahkan ke Polres Salatiga. Polisi membreidel Lentera dengan alasan majalah itu meresahkan masyarakat. Tindakan ini dianggap sebagai langkah pencegahan supaya tak terjadi konflik yang lebih parah.
Pemimpin Redaksi Lentera Bima Satria Putra menolak usulan tersebut. Alasannya, tak semua anggota Lentera setuju menggugat balik. "Kebanyakan khawatir mempengaruhi status akademis," ujar dia. Dia mengakui sebagian besar mahasiswa khawatir dikeluarkan karena permintaan pembredelan justru langsung dari rektor.
Sementara Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Agung Sedayu, mengatakan Rektorat Universitas Kristen Satya Wacana harusnya tidak kalah oleh tekanan pihak luar. Justru, kata dia, seharusnya Universitas menggugat pihak-pihak yang mengganggu kebebasan berpendapat mahasiswanya yang diatur dalam Undang-Undang.
"UKSW, Wali Kota, dan Kepolisian Salatiga telah melanggar Deklarasi Universal HAM, Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang- undang HAM yang menjamin setiap orang untuk mencari dan menyebarkan informasi," kata dia.
Editor : tagor
Sumber : tempo
“Kalau memang tak setuju dengan Undang-Undangnya, bisa usulkan revisi. Namun, saat ini ya harus jalani yang ada," kata Iman dalam diskusi di Plaza Festival, Minggu, 25 Oktober 2015.
![]() |
Media LENTERA |
Pada awal Oktober 2015, Lembaga Pers Mahasiswa Lentera Universitas Kristen Satya Wacana menerbitkan majalah dengan mengangkat tema utama mengenai Gerakan 30 September 1965 dengan judul Salatiga Kota Merah. Majalah edisi ini lantas didistribusikan dengan dijual di dalam lingkungan kampus dan ke masyarakat.
Namun, pada Minggu, 18 Oktober 2015, Kepolisian Resor Salatiga memanggil awak redaksi LPM Lentera. Polisi meminta agar majalah Lentera edisi 3/2015 yang sudah telanjur diedarkan ke pelanggan, ditarik kembali lalu diserahkan ke Polres Salatiga. Polisi membreidel Lentera dengan alasan majalah itu meresahkan masyarakat. Tindakan ini dianggap sebagai langkah pencegahan supaya tak terjadi konflik yang lebih parah.
Pemimpin Redaksi Lentera Bima Satria Putra menolak usulan tersebut. Alasannya, tak semua anggota Lentera setuju menggugat balik. "Kebanyakan khawatir mempengaruhi status akademis," ujar dia. Dia mengakui sebagian besar mahasiswa khawatir dikeluarkan karena permintaan pembredelan justru langsung dari rektor.
Sementara Presidium Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, Agung Sedayu, mengatakan Rektorat Universitas Kristen Satya Wacana harusnya tidak kalah oleh tekanan pihak luar. Justru, kata dia, seharusnya Universitas menggugat pihak-pihak yang mengganggu kebebasan berpendapat mahasiswanya yang diatur dalam Undang-Undang.
"UKSW, Wali Kota, dan Kepolisian Salatiga telah melanggar Deklarasi Universal HAM, Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang- undang HAM yang menjamin setiap orang untuk mencari dan menyebarkan informasi," kata dia.
Editor : tagor
Sumber : tempo
Tidak ada komentar