Header Ads



Kebijakan Pro-Lingkungan: Untuk Pembangunan Berkelanjutan

Catatan Kaki Kebijakan Pro-Lingkungan: Untuk Pembangunan Berkelanjutan - Oleh Jon Roi Tua Purba
Jon Roi Tua Purba
Catatan Kaki Kebijakan Pro-Lingkungan: Untuk Pembangunan Berkelanjutan
Oleh Jon Roi Tua Purba

LINTAS PUBLIK - Lingkungan hidup yang nyaman dan bersahabat tentu saja menjadi keinginan setiap orang. Lingkungan yang bersahabat akan membawa dampak positif bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Belakangan ini kondisi lingkungan hidup sangat banyak dibicarakan dalam kaitannya terhadap kemajuan dunia industri. Kegiatan industrialisasi ternyata membawa dampak bagi keberlangsungan lingkungan hidup yang seimbang. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di negeri ini sangat signifikan. UU No.32 Tahun 2009 seakan tidak berdampak untuk menjaga kerusakan lingkungan.

“Untuk menurunkan emisi, Indonesia telah mengumumkan target penurunan emisi sebesar 26% dari tingkat business as usual pada tahun 2020. Target ini dapat kami tingkatkan sampai 41% dengan bantuan internasional. Negeri kami, terus melakukan upaya maksimal untuk mencapai target itu. Kami terus menurunkan tingkat deforestasi dan tingkat kerusakan lahan. Kami terus mengembangkan energi terbarukan. Dan kami terus melakukan pula transformasi menuju moda transportasi publik yang rendah karbon”.

Pernyataan diatas adalah pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono yang pada saat itu masih menjabat Presiden Republik Indonesia dalam sambutan pada Sesi Khusus Ke-11 Governing Council, Global Ministerial Environment Forum United Nations Environment Programme (UNEP) di Bali pada tahun 2010 lalu. Pernyataan ini sesungguhnya sangat jelas untuk menjaga lingkungan hidup secara nyata di bumi Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kerusakan lingkungan masih mengalir deras di negeri ini? Dimana pembuktian dari pernyataan Presiden?

Sebaliknya, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam penanganan lingkungan tampaknya tidak menjawab tentang kerusakan lingkungan. Pemerintah melalui kebijakanya malah memberikan ijin yang seluas-luasnya dalam kebijakan peralihan hutan kepada perkebunan sawit dan pertambangan. Segala sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan harus sesuai dengan isi undang-undang yang berlaku dan dalam hal ini UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup implementasinya menjadi kabur.

Pasal 1 Ayat 2 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup berbunyi: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”.

Sesungguhnya aturan dalam perlindungan dalam tujuan pengelolaan lingkungan hidup sudah sangat memadai, tinggal bagaimana menerapkan. Dituntut kebijakan yang lebih memihak pada lingkungan. Banyaknya proyek yang berorientasi pada keuntungan ekonomis semata menjadi pengganjal terlaksananya UU. No. 32 tahun 2009. Kelestarian lingkungan menjadi pertimbangan yang kesekian dalam pembangunan industri, sehingga seringkali diabaikan. Implementasi kebijkan pun menjadi tidak pro terhadap lingkungan.

Kalau dikatakan seberapa mampu Undang-Undang No 32 tahun 2009 menjawab persoalan kerusakan lingkungan? Peraturan perundangan ini saya kira sudah sangat bepihak demi terciptanya lingkungan yang lestari hanya saja kebijakan-kebijakan tentang industri dan lingkungan sering berbenturan. Kekuasaan pemerintah daerah menjadi salah satu kendala mengapa kerusakan lingkungan terus terjadi. Kebijakan pemerintah daerah yang sering kali berorientasi penambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah) tanpa melihat dampak lingkungan. Kebijakan dari pemerintah daerah dikuatkan pula dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kewenangan kepala daerah yang begitu luas menjadi hambatan tersendiri dalam hal melindungi kualitas lingkungan.

Keleluasaan kewenangan daerah seharusnya mempunyai batasan tertentu, sehingga kebijakan di daerah tidak berbenturan dengan kebijakan nasional atau bahkan internasional. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang semestinya adalah wewenang atau tugas pemerintah seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 33. Namun, kewenangan pemerintah pusat ini telah diserahkan kepada pemerintah daerah tentang bagaimana pengolahan SDA, yang kemidian ditegaskan dalam PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah.

Pemerintah daerah yang memerlukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung mengambil kebijakannya hanya dari ijin pertambangan. Sehingga disinyalir kebijakan ini menjadi mengeksploitasi sumber daya alam. Ditambah lagi tidak adanya kebijakan yang memihak pada lingkungan dalam konservasi lingkungan. Tugas dan wewenang konservasi terletak pada pemerintah pusat yang sering mandek. Maka semakin jelaslah kerusakan lingkungan semakin meluas.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:1). Perencanaan; 2). Pemanfaatan; 3). Pengendalian; 3). Pemeliharaan; 4). Pengawasan; dan 5). Penegakan hukum. Dari poin-poin diatas yang telah tertuang dalam UU No. 32 tahun 2009 semakin menegaskan bahwa aturan ini sangat memihak dalam penanganan masalah lingkungan. Namun, tetap saja kerusakan lingkungan kian mengkawatirkan?

Poin pertama misalnya, yang menyatakan perlunya sebuah perencanaan dalam upaya pengelolaan lingkungan yang seimbang dan diakhiri dengan penegakan hukum. Ini artinya komponen perlindungan lingkungan adalah hal wajib yang harus diperhatikan dalam setiap mengambil kebijakan. Dan untuk mensinergikan semua rencana dalam program harus dicantumkan dengan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Penegakan hukum terhadap para pelanggar harus konsisten, sehingga kejadian kebijakan yang tidak memperhatikan lingkungan bisa ditekan.

Sekali lagi, Undang-Undang No. 32 tahun 2009 sangat mungkin untuk menekan angka kerusakan lingkungan. Karena semuanya sudah diatur didalamnya. Sekarang tinggal bagaimana mesinergikan pengetahuan pengambil kebijakan dengan peraturan yang ada. Maka peran penting pemimpin dalam hal ini adalah mengaktualisasikan peraturan dalam bentuk kebijakan, sehingga dampaknya menjadi nyata terhadap pelestarian lingkungan.

Lemahnya penerapan peraturan perundangan dan berbenturnya berbagai aturan membuat tujuan kebijakan menjadi kacau. Setidaknya aturan itu adalah UU No.32 tahun 2009 yang berbenturan dengan UU No.23 tahun 2004 tentang otonomi daerah, serta PP No.38 tahun 2007 tentang pembagian kekuasaan pemerintah. Maka dari itu perlu kebijakan yang memihak pada lingkungan dan tidak selalu berbenturan dengan aturan perundangan serta perda yang ada di daerah. Karena pembangunan harus melihat jauh kedepan dalam upaya mewariskan lingkungan yang baik untuk generasi berikutnya.

Penulis Mahasiswa Administrasi Publik Fisipol UGM Yogyakarta
@JonRoi

1 komentar:

  1. Banyak sekali dampak buruk yang terjadi akibat lingkungan yang kurang baik.
    Dibutuhkan kerjasama yang baik oleh masyarakat banyak untuk terciptanya lingkungan yang baik.

    Ingat, bumi hanya 1. Jika hancur, dimana anda akan tinggal?

    Bantu kami Greenpack untuk mengganti styrofoam dan plastik. Lebih lengkap tentang kami dapat anda lihat www.greenpack.co.id.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.