Notaris Waktu Itu Tidak Mau Menerima Usulan
Kasus korupsi dan pencucian uang di proyek Simulator SIM di Korlantas Polri, menyisakan cerita adanya peranan seorang Notaris/ PPAT yang membantu terpidana DS dalam melakukan berbagai transaksi pembelian aset properti di berbagai daerah. Kemudian KPK dan Pengadilan Tipikor membuktikan bahwa itu adalah modus tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Kalau notaris dan PPAT sebagai pejabat umum dianggap kepanjangan tangan dari Kemenkumham dalam membuat akta otentik dan kepanjangan tangan BPN dalam membuat akta jual beli/peralihan hak dan menjadi bagian dari proses pendaftaran tanah PP 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Untuk itu jika ada notaris/ PPAT yang melakukan penyimpangan/pelanggaran, maka hal itu dapat dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan. Sebagai Pejabat umum, notaris/PPAT diberikan kewenangan eksklusif oleh negara dalam membuat akta otentik dalam rangka kepastian hukum suatu perbuatan hukum.

Pada pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 yang merupakan perubahan atas Undang- undang Noomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan : Definisi selain pegawai negeri yang menjadi obyek dari tindak pidana korupsi adalah orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu. Meskipun ada limitasi dari tindak pidananya adalah menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya.

Dapatkah hal ini dibuatkan penafsiran mencakupi jabatan notaris/PPAT yang disebut sebagai “pejabat umum”? Pasal 1 UUJN tentang ketentuan umum semakin membuat terang posisi produk dari notaris/PPAT, dimana di UUJN dikatakan bahwa protokol notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara. Dan ini bisa menjadi obyek gugatan judicial/constitutional review di Mahkamah Konstitusi.

Dalam konsiderans UUJN disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum, yang ini merupakan bagian dari tugas-tugas administrasi negara/pemerintahan, maka dengan demikian notaris/PPAT dalam posisi menjalankan sebagian dari tugas-tugas dan kewenangan administrasi negara. Maka dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai peristiwa, keadaan dan perbuatan hukum tertentu. Dan akta otentik tersebut merupakan produk dari notaris/PPAT.

Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandupraja, S.H., Sp. N., LL.M. dalam wawancara dengan M. Winahyo Soekanto, S.H., M.H. dari medianotaris.com, seharusnya notaris/PPAT mampu berperan aktif dalam kampanye pencegahan TPPU. Profesi ini seharusnya tidak berhenti pada kebenaran formil identitas para pihak yang bertransaksi, tapi juga proaktif dalam mengetahui profil dari para pihak yang melakukan transaksi. Meski tidak perlu sampai melakukan pendekatan follow the money yang biasa dilakukan PPATK.

Sebagai perbandingan yang dapat ditiru dari apa yang sudah berlaku dalam sistem perbankan nasional kita yaitu sistem NYC (know your customer). Pasal 39 UUJN misalnya mewajibkan penghadap kehadapan notaris harus cakap melakukan perbuatan hukum dan know your customernya ada pada lanjutan pasal tersebut yakni penghadap harus dikenal notaris atau diperkenalkan oleh dua orang saksi yang telah berumur 18 tahun. Dan pengenalan tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam akta. Tidak boleh dalam hal ini ada sekedar formalitas yang banyak terjadi dalam praktek sekarang ini.

Mengenai TPPU ini sudah seharusnya notaris/PPAT mengetahui dengan baik dan cukup mengingat pasal 15 ayat 2.e, yang mewajibkan notaris memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.
Menurut Pandu, seharusnya notaris dan PPAT ditetapkan berdasarkan undang-undang juga menjadi pelapor kepada PPATK, atas transaksi mencurigakan, sebagaimana perbankan nasional harus melakukannya kepada PPATK.
Sayang hal ini masih menemui berbagai kendala dari orang-orang yang tidak ingin transaksi-transaksinya di depan notaris/PPAT diketahui oleh lembaga penegak hukum.

Terkait dengan profil klien atau customernya, mantan ketua PPATK, Prof. Dr. Junus Husein, S.H., LLM. menginformasikan bahwa dahulu pada era kepemimpinan Ikatan Notaris Indonesia oleh Notaris Sutjipto, S.H, UU TPPU sempat akan direvisi dengan memasukkan ketentuan wajib lapor notaris mengenai transaksi bisnis yang dilakukan kliennya yang jumlahnya besar atau ada indikasi tidak wajar atau mencurigakan. Misalnya seorang pegawai negeri golongan II-a membeli rumah seharga 2 Miliar. Jadi yang seperti ini termasuk kategori transaksi mencurigakan karena ada gap yang lebar dengan profil customer/klien.

Lebih lanjut Junus Husein menyatakan isi revisi bagus karena notaris bisa ikut mencegah tindak pidana pencucian uang. Selain itu menghindarkan notaris terlibat tindak pidana atau terbawa-bawa tindak pidana yang terjadi atas kliennya. Namun sayangnya waktu itu notaris tidak mau menerima usulan ini sehingga sampai kini notaris tidak memiliki kewajiban lapor dimaksud. Dengan tidak adanya kewajiban laporan ini sesungguhnya merugikan notaris sendiri. Karena notaris bisa terbawa-bawa atau menghadapi paling tidak bisa mengahadapi ancaman pidana pasal 55 yakni turut serta dan pasal 56 yakni ikut aktif membantu kejahatan sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana. Jika notaris tidak melaporkan transaksi yang mencurigakan, dan ternyata terjadi kejahatan maka si notaris akan bisa terbawa-bawa kasus kejahatan dimaksud.MedNot/t