Header Ads



Menekan subsidi BMM dengan Cukai Baru Otomotif

 Saya ikut prihatin membaca-mendengar dan menyaksikan perdebatan yang berkepanjangan tentang sejumlah wacana guna memangkas subsidi BBM yang semakin gemuk dan tidak seksi.

Benar, subsidi bukanlah musuh utama, yang menurut teorinya dimungkinkan dan sah-sah saja untuk membantu rakyat sebuah bangsa asalkan peruntukannya tepat sasaran.

Dalam kasus subsidi BBM kita, jumlahnya membelalakkan mata "apalagi ditengarai salah sasaran". Dikecam karena dicurigai lebih dinikmati oleh orang kaya dan bukan oleh mayoritas penduduk yang tidak berpunya seperti tujuan mulianya, untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat kebanyakan (umum).

Nyatanya, subsisi yang boleh dikata "salah kaprah" (karena tidak dibarengi sistem tata kelola dan pengawasan yang baik) dan lebih banyak digelontorkan pada BMM yang merupakan kebutuhan umum, mudah didapat namun sulit diawasi penggunaannya oleh aparat.

Terbukti sebagian besar subsidi BMM dinikmati oleh para penduduk yang berpunya.

Kasat mata, salah satu penyebab pembengkakan / jebolnya kuota BMM bersubsidi adalah meningkatnya permintaan BMM didorong pertumbuhan sektor otomotif khususnya di perkotaan besar yang nota bene tidak didukung oleh sistem transportasi massal (MRT-MTR) yang memadai dan baik.

Hitungan sederhana matematisnya, 100 liter BMM bersubsidi mampu mengangkut 100 orang diatas 50 buah motor ke tujuan tertentu.

Semestinya bila menggunakan moda transportasi massal dengan 100 liter BBM tersebut mampu memindahkan sebanyak rata-rata 1000 orang ke tujuan yang sama.

Alih-alih rakyat 'dipaksa' menggunakan moda transportasi publik yang amburadul dan panas, pengab, kotor, tanpa jadual, sopir ngetem sesukanya dan trayek berubah-ubah sesuka sopir dan ugal ugalan pula. No Way Man?

Minim atau absennya MRT/MTR dimanfaatkan oleh kalangan industriawan otomotif untuk menggenjot produksi dengan keuntungan berlipat ganda.

Mereka tidak sepenuhnya harus disalahkan sebagai biang kerok membengkaknya beban subsidi. Namanya juga pengusaha, selalu berusaha agar untung, meski yang lain (baca: subsidi APBN dan rakyat) buntung.

Oleh karenanya, sambil berwacana membangun MRT/MTR sudah waktunya pemerintah merancang pola pembebanan subsidi kepada kalangan industriawan otomotif dengan cara menerapkan Levi atau cukai baru sejumlah tertentu.

Contoh: menerapkan levi-cukai Rp 2-3 juta sebagai sumbangan subsidi untuk setiap unit otomotif yang diproduksi pada saat terjual dan menerapkan Levi subsidi BMM Rp 1 juta per tahun selama 5-10 tahun pemakaian kendaraan).

Metode Levi ini telah diuji coba di Brazil dengan modus lain. Setiap importer ban mobil lebih dari 300.000 unit diwajibkan untuk membangun sebuah fasilitas pusat pembuangan sisa ban bekas yang diimpor sebelum didaur ulang/dimusnahkan.

Pembeli wajib menyetorkan ban bekasnya ke toko/importirnya pada waktunya. Dengan demikian potensi kerusakan lingkungan akibat sisa-sisa barang impor dapat ditekan dan importir 'dipaksa' 'dididik' untuk ikut bertanggungjawab menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan menerapkan Levi khusus "bantuan subsidi BBM" bagi setiap produsen otomotif, maka biaya subsidi BBM dalam APBN akan terbantu dan dapat ditekan.

Metode ini akan lebih baik daripada mengeluarkan kebijakan harga yang diskriminatif bagi pembeli dengan 2 opsi harga jual BBM bersubsidi yang jelas akan mahal dan sulit dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya.

*Penulis adalah Pemerhati masalah Sosial


Sahat Sitorus
Jl Bambu Duri, Jakarta Timur
sahatsitorus@yahoo.com
081219612125

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.